Jakarta, 28 Mei 2024 – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) didukung oleh Yayasan Integritas Justitia Madani Indonesia (IJMI) telah meluncurkan hasil penelitian terbaru yang berjudul “Potret Penegakan Hukum dan Pemberian Layanan Kepada Buruh Migran Indonesia yang Menjadi Korban Perdagangan Orang”. Dalam penelitian ini terdapat dua riset yang dihasilkan yaitu, penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) oleh Aparat Penegak Hukum dan hasil riset terkait ketersediaan layanan rumah aman. Penelitian ini bertujuan untuk memahami tantangan dan kendala yang dihadapi dalam penanganan kasus buruh migran Indonesia yang menjadi korban TPPO.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Participatory Action Research (PAR) dan menyasar enam wilayah di Indonesia: Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Tengah, Kota Batam, Kabupaten Indramayu, Kota Makassar, dan Kabupaten Lombok Timur, yang melibatkan tim peneliti dari Dewan Pimpinan Nasional SBMI, Dewan Pimpinan Cabang Kota Batam, Indramayu, Pemalang, Lombok Timur, dan Dewan Pimpinan Wilayah Kota Makassar SBMI.
Buruh Migran Indonesia (BMI) menjadi salah satu kelompok rentan yang sering kali menjadi korban TPPO. BMI merupakan individu yang mencari pekerjaan di luar negeri dengan harapan meningkatkan kondisi ekonomi mereka atau karena migrasi telah menjadi bagian dari budaya turun-temurun di komunitas mereka. Namun, di negara tujuan, mereka sering kali menghadapi kondisi kerja yang eksploitatif dan praktik TPPO yang mengancam keamanan dan martabat mereka. Menurut data SBMI, sepanjang tahun 2019-2023, SBMI telah menerima dan mendampingi sebanyak 1.607 kasus calon pekerja migran Indonesia yang terindikasi kuat sebagai korban TPPO.
Hariyanto Suwarno, Ketua SBMI menyampaikan bahwa SBMI bersama IJMI menerbitkan laporan yang menggambarkan Potret Penegakan Hukum dan Pemberian Layanan Kepada Buruh Migran Indonesia yang Menjadi Korban Perdagangan Orang menjadi salah satu riset yang menyiapkan rekomendasi perbaikan pelaksanaan UU 21/2007 tentang PTPPO.
“Penelitian ini terjadi karena kontribusi besar dari para peneliti dan penulis SBMI yang menjadi kebanggan kami. Penelitian yang menggunakan metode pendekatan Participatory Action Research ini, menjadi salah satu hal yang kita pandang serius, bahwa rujukan hukum bagi korban TPPO di Indonesia masih menggunakan UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, regulasi ini mencakup 3 skema penting yang tidak dapat dipisahkan yaitu pencegahan, penanganan, reintegrasi atau pemulihan. Dari hal ini, tentunya pada praktik lapangan setelah UU 21/2007 lahir, ada tantangan yang harus kita rekomendasikan kedepan untuk keadilan bagi korban mulai dari proses penanganannya oleh APH dan keamanan yang harus menyelimuti para korban melalui layanan rumah aman. Dalam hal ini kesiapan sumber daya manusia menjadi sangat penting. Karena sebaik apapun isi dari UU 21/2007 adalah sumber daya manusia pelaksana harus cukup memahami konteks tentang pelindungan dan keadilan bagi korban.” tuturnya
Magdalena Pasaribu, Program Management Lead Yayasan IJMI berharap hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran yang komprehensif mengenai penegakan hukum yang telah dilakukan serta kualitas layanan yang diberikan kepada para korban.
“Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai tantangan dan hambatan yang ada, serta merekomendasikan langkah-langkah strategis yang perlu diambil untuk memperbaiki kondisi yang ada. Dalam konteks penegakan hukum, pentingnya koordinasi yang erat antara berbagai instansi terkait, baik di tingkat nasional maupun internasional. Penanganan kasus TPPO memerlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, yang melibatkan aparat penegak hukum, lembaga perlindungan sosial, serta organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, pemberian layanan bagi korban TPPO juga memerlukan perhatian khusus. Layanan yang diberikan harus mencakup aspek fisik, psikologis, dan sosial, serta memastikan bahwa para korban mendapatkan akses yang mudah dan cepat terhadap bantuan yang mereka butuhkan, termasuk pendampingan hukum, rehabilitasi, reintegrasi sosial, serta pemberdayaan.” jelasnya
Pada hasil riset terkait penanganan TPPO oleh APH yang dipaparkan oleh Dios Lumban Gaol sebagai tim peneliti SBMI, bahwa ada beberapa catatan kritis terhadap Undang-Undang 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) yang perlu disesuaikan dengan Protokol Palermo dan penguatan hak korban restitusi dan kompensasi. Terhadap Undang-Undang 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) juga masih belum mengatur sanksi pidana yang berkaitan dengan pekerja migran Indonesia yang mengalami kerja paksa. Selain itu, tim peneliti SBMI juga menyoroti lemahnya kapasitas APH dan perbedaan pandangan APH terhadap pelaksanaan UU PTPPO dan UU PPMI yang sangat merugikan korban.
“Kerangka hukum Indonesia, termasuk UU No. 21 Tahun 2007 dan UU No. 18 Tahun 2017, memiliki kelemahan dalam pencegahan dan penanganan TPPO, seperti perumusan elemen yang tidak jelas dan kurangnya perlindungan bagi buruh migran. SBMI juga memaparkan temuan khusus pada riset ini, terkait sejauh mana aparat penegak hukum di Indonesia memahami dan menerapkan regulasi yang ada terkait dengan TPPO. Temuan khusus yang ditemukan Pelatihan dan penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di kalangan aparat penegak hukum masih belum merata dan menyeluruh. Pelatihan yang ada pun terbatas pada penanganan tindak pidana, belum mencakup pencegahan TPPO secara menyeluruh. Hal ini berakibat pada pemahaman yang berbeda-beda terhadap unsur pidana UU TPPO dan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) di antara aparat penegak hukum.” pungkas Dios
Terdapat perbedaan pandangan dalam penentuan kasus TPPO Pekerja Migran, serta belum semua memahami unsur tujuan untuk dieksploitasi dan menyebabkan tereksploitasi. Upaya pencegahan TPPO pun masih belum optimal, dengan fokus pada hukuman berat dan pengawasan, sementara sosialisasi dan rehabilitasi masih belum menjadi prioritas. Komitmen aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak korban juga masih rendah. Perlindungan dan kebutuhan korban dalam proses penyidikan masih diabaikan, hak akses terhadap rehabilitasi dan restitusi pun belum diperhatikan. Selain itu, dalam paparan hasil temuan ditemui pula, masih banyak restitusi yang tidak dibayarkan oleh pelaku, dan belum ada upaya penyitaan aset dan pelelangan untuk restitusi.
Adapun catatan kritis yang didapatkan dari riset pelaksanaan kebijakan terkait layanan rumah aman bagi buruh migran yang menjadi korban perdagangan orang di level sub-nasional yang dipaparkan oleh Ayu Eza Tiara selaku tim peneliti SBMI, ia menerangkan khususnya di tingkat provinsi dan kabupaten, mengalami berbagai kendala dalam aspek implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO dalam memfasilitasi korban pada layanan rumah aman.
“Ketersediaan rumah aman yang tidak memadai menjadi salah satu tantangan utama dalam pemenuhan hak akses untuk korban perdagangan orang. Banyak rumah aman hanya berfungsi sebagai rumah singgah sementara dan belum memenuhi standar nasional dalam memberikan perlindungan dan dukungan jangka panjang bagi korban. Selain itu, fungsi layanan rumah aman juga terkendala oleh keterbatasan anggaran. Meskipun beberapa lembaga penyedia layanan milik pemerintah sudah memiliki anggaran dari APBN, beberapa lainnya masih berupaya mendapatkan alokasi anggaran.” jelas Ayu
Andriyeni sebagai penanggap dari Solidaritas Perempuan menyampaikan apresiasi terhadap penelitian yang dilakukan oleh SBMI, ia mengapresiasi solidaritas dan komitmen SBMI terhadap keadilan bagi sesama buruh migran yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). “kejahatan TPPO merupakan kejahatan luar biasa yang sering kali tidak ditangani dengan hukuman yang sepantasnya karena pendekatan hukum yang digunakan lebih administratif dan tidak mengedepankan aspek pidana.” pungkasnya
Ali Tshabit Kholidi selaku fungsional pengantar dari Kementerian Ketenagakerjaan RI yang berhadir sebagai penanggap, menanggapi bahwa hasil penelitian ini perlu diimplementasikan secara efektif. Meskipun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 telah disandingkan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, terdapat jeda waktu dalam pembuatan kedua undang-undang tersebut sehingga implementasinya kurang optimal. ‘’Kemenaker juga telah membentuk satgas pelindung pekerja migran yang salah satu tugasnya adalah mencegah migrasi yang tidak aman dan memastikan pekerja migran yang dipulangkan diproses sesuai regulasi oleh perusahaan terkait, semoga rekomendasi yang tercantum dalam hasil penelitian ini dapat aplikatif untuk kita seluruhnya’’. Jelas Kholidi
M. Iqbal Abbas dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan apresiasi kepada SBMI atas usaha dan rekomendasi dari penelitian ini. Ia menekankan, “Pentingnya memastikan bahwa rekomendasi ini tidak hanya berhenti pada tataran rekomendasi, tetapi harus diimplementasikan dengan nyata. Meskipun langkah besar sangat baik, langkah-langkah kecil yang dapat segera dilaksanakan, seperti aturan turunan dari institusi atau peraturan daerah, juga sangat penting untuk mencapai perubahan yang nyata”. pungkasnya
Ratih dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) juga turut berhadir dalam peluncuran riset ini, ia menyampaikan apresiasi kepada SBMI atas penelitian yang telah dilakukan, khususnya mengenai rumah aman. “Namun KPPA prihatin juga bahwa saat ini tidak ada rumah aman khusus untuk korban TPPO, sehingga korban sering disatukan dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di rumah aman yang ada seperti apa yang telah ada pada temuan penelitian ini. KPPA juga dapat memfasilitasi saksi ahli dalam proses pendampingan hukum untuk membantu korban TPPO mendapatkan keadilan yang layak, ini yang harus kita sampaikan karena sering kali, KPPA tidak dilibatkan pada kasus penanganan TPPO yang melibatkan pekerja migran”. katanya
Berhadir pula, akademisi dalam peluncuran riset ini, Ana Sabhana dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyampaikan bahwa sebagai akademisi, ia mengapresiasi terhadap hasil riset yang telah dilakukan SBMI, terutama karena penelitian ini melibatkan langsung para purna buruh migran. Ana juga menekankan bahwa jikapun regulasi sudah ada namun implementasinya para aktor harus responsif gender. “jika Aparat Penegak Hukum (APH) memiliki perspektif yang adil gender, maka kebijakan migrasi akan lebih efektif. Meskipun berbagai pasal sudah membahas perlindungan, efektivitasnya akan kurang optimal jika para aktor belum memahami secara mendalam isu-isu terkait.” singkat Ana
SBMI dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa untuk mengatasi tantangan-tantangan, diperlukan berbagai rekomendasi yang aplikatif untuk implementasi keadilan bagi korban perdagangan orang. Rekomendasi yang dihasilkan pada riset penanganan TPPO oleh APH, adalah Pemerintah dan DPR segera melakukan revisi terhadap UU PTPPO untuk memperbaiki dan menyesuaikan unsur utama TPPO sesuai Protokol Palermo, memperkuat hak korban terutama restitusi, dan menambahkan mekanisme kompensasi bagi korban TPPO, meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum melalui pelatihan dan pendidikan dalam menangani kasus TPPO pekerja migran Indonesia dan untuk memahami kerangka hukum UU PTPPO dan UU PPMI. Selanjutnya, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kekuasaan Kehakiman menerbitkan peraturan bersama terkait dengan panduan penanganan kasus TPPO pekerja migran yang menjelaskan penggunaan UU PTPPO dan UU PPMI dan penguatan hak korban terutama restitusi, kepolisian dan kejaksaan menerbitkan peraturan bersama mengenai mekanisme penyitaan aset dan pelelangan untuk pemenuhan hak restitusi korban, serta kepolisian memperbaiki sistem pelaporan TPPO yang ramah dan berorientasi kepada kemudahan akses korban dan mematuhi serta memenuhi hak-hak korban TPPO.
Pada riset ketersediaan layanan rumah aman bagi korban TPPO, tim peneliti menuliskan beberapa rekomendasi seperti, merancang peraturan daerah tentang layanan rumah aman bagi pekerja migran yang menjadi korban perdagangan orang, menganggarkan untuk anggaran layanan rumah aman guna peningkatan aksesibilitas untuk diakses para korban perdagangan orang, sosialisasi nomor call center agar lebih mudah diakses korban, penggunaan nomor bebas pulsa pada call center, pelatihan staf dalam penanganan korban di rumah aman, dan klarifikasi status kepegawaian guna menjadikan pekerja layanan rumah aman menjadi suatu aspek yang krusial, menerbitkan SOP yang jelas untuk pembatasan akses komunikasi, pendampingan dengan kerahasiaan, keamanan, dan evaluasi berkelanjutan untuk memonitoring kerja layanan rumah aman juga penting untuk dilakukan berkala.
0 Comments